Thursday, September 13, 2012

Arti Sebuah Niat

Arti Sebuah Niat

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim)

Fungsi niat dalam ibadah
sangatlah penting. Karena
itu setiap muslim harus
senantiasa memperbaiki
niat dalam ibadahnya, yaitu ikhlas[www.asysyariah.com/ikhlas.html] untuk Allah semata.

‘Umar ibnul Khaththab z
berkata: Aku mendengar Nabi r bersabda:
“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya karena
Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan.”

Hadits yang agung di atas
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam beberapa
tempat di kitab Shahih-nya
(hadits no. 1, 54, 2529, 3898,
5070, 6689, 6953) dan Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya (no.1908).
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata tentang hadits ini:
“Yahya bin Sa’id Al-Anshari
bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari
Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi,dari ‘Umar ibnul Khaththab z. Dan tidak ada jalan lain yang shahih dari hadits ini kecuali jalan ini. Demikian yang dikatakan oleh ‘Ali ibnul Madini dan selainnya.”
Al-Khaththabi berkata: “Aku
tidak mengetahui adanya
perselisihan di kalangan ahli hadits dalam hal ini, sementara hadits ini juga diriwayatkan dari
shahabat Abu Sa’id Al-Khudri
dan selainnya.” Dan dikatakan: Hadits ini diriwayatkan dari jalan
yang banyak akan tetapi tidak ada satupun yang shahih dari jalan-jalan tersebut menurut para huffadz (para penghafal
hadits). Kemudian setelah Yahya bin Sa’id Al-Anshari banyak sekali perawi yang meriwayatkan darinya, sampai dikatakan: Telah
meriwayatkan dari Yahya Al-
Anshari lebih dari 200 perawi. Bahkan ada yang mengatakan jumlahnya mencapai 700 rawi, yang terkenal di antaranya
Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza‘i,
Ibnul Mubarak, Al-Laits bin
Sa‘ad, Hammad bin Zaid,
Syu‘bah, Ibnu ‘Uyainah dan
selainnya. Ulama bersepakat menshahihkan hadits ini dan menerimanya dengan penerimaan yang baik
dan mantap. Al-Imam Al-Bukhari membuka kitab Shahih-nya dengan hadits ini dan menempatkannya seperti khutbah/mukaddimah bagi kitab
beliau, sebagai isyarat
bahwasanya setiap amalan yang tidak ditujukan untuk
mendapatkan wajah Allah I maka amalan itu batil, tidak akan diperoleh buah/hasilnya di dunia,
terlebih lagi di akhirat. Karena itulah berkata Abdurrahman bin
Mahdi: “Seandainya aku
membuat bab-bab dalam sebuah kitab niscaya aku tempatkan pada setiap bab hadits Umar tentang amalan itu dengan niatnya.” Beliau juga mengatakan: “Siapa yang ingin menulis sebuah kitab maka hendaknya ia memulai dengan hadits .” (Jam’iul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-
Hambali, hal. 59-60. Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-4, th. 1413 H/1993 M)

Hadits ini selain diriwayatkan
oleh Al-Imam Al-Bukhari dan
Muslim, juga diriwayatkan para imam yang lain. Dan komentar tentang hadits ini kami cukupkan dengan menukil ucapan Ibnu Rajab Al-Hambali di atas karena terdapatnya kifayah (kecukupan/memadai).

Penjelasan Hadits
Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh balasan dari amalan
yang dilakukan sesuai dengan niatnya. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t telah
berkata: “Setiap amalan yang dilakukan seseorang baik berupa kebaikan ataupun kejelekan
tergantung dengan niatnya.
Apabila ia tujukan dengan perbuatan tersebut niatan/
maksud yang baik maka ia
mendapatkan kebaikan,
sebaliknya bila maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Beliau juga mengatakan: “Hadits
ini mencakup di dalamnya
seluruh amalan, yakni setiap
amalan harus disertai niat. Dan niat ini yang membedakan antara orang yang beramal karena ingin mendapatkan ridha Allah I dan pahala di negeri akhirat, dengan orang yang
beramal karena ingin dunia, baik berupa harta, kemuliaan, pujian,sanjungan, pengagungan dan selainnya.” (Makarimul Akhlaq, hal. 26 dan 27)
Di sini kita bisa melihat arti
pentingnya niat sebagai ruh
amal, inti dan sendinya. Amal
menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal menjadi rusak karena niat yang rusak.

Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna:
“Siapa yang senang untuk disempurnakan amalan yang
dilakukannya maka hendaklah ia membaikkan niatnya. Karena Allah I memberi pahala bagi
seorang hamba apabila baik
niatnya, sampaipun satu suapan yang dia berikan (akan diberi pahala).”

Ibnul Mubarak t berkata:
“Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya.” (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam, hal. 71)
Perlu diketahui, suatu perkara yang sifatnya mubah, pelakunya bisa diberi pahala karena niat yang baik. Seperti orang yang makan dan minum. Jika ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah I dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya, maka orang tersebut akan diberi pahala.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t
mengatakan: “Perkara mubah pada diri orang-orang yang khusus dari kalangan muqarrabin (mereka yang selalu
berupaya mendekatkan diri
kepada Allah I) bisa berubah
menjadi ketaatan dan qurubat (perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah I) karena niat.” (Madarijus Salikin 1/107)
Al-Imam An-Nawawi t dalam
Syarah Shahih Muslim (7/92)
ketika menjelaskan hadits: “Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah.” beliau menyatakan: “Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwasanya perkara-perkara mubah bisa
menjadi amalan ketaatan
dengan niat yang baik.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri bisa bernilai ibadah apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan
bergaul dengan cara yang baik terhadapnya sesuai dengan apa yang Allah I perintahkan. Atau ia
bertujuan untuk mendapatkan anak yang shalih, menjaga kehormatan diri atau istrinya, mencegah keduanya dari melihat
perkara yang haram, berfikir kepada perkara haram atau berkeinginan melakukan perkara haram serta tujuan-tujuan tidak baik lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, 3/44)

Meluruskan Niat

Seorang hamba harus terus
berupaya memperbaiki niat dan meluruskannya agar apa yang dia lakukan berbuah kebaikan. Dan memperbaiki niat ini perlu mujahadah (kesungguh-
sungguhan dengan mencurahkan segala daya upaya). Karena sulitnya meluruskan niat ini
sampai-sampai Sufyan Ats-
Tsauri t berkata: “Bagiku, tidak ada suatu perkara yang paling berat untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat pada diriku itu bisa berubah-
ubah.” (Hilyatul Auliya, 7/5 dan 62) Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah I, ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa
keikhlasan niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah r. Allah I berfirman tentang ikhlas dalam ibadah ini, yang artinya: “Dan tidaklah
mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama
bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata dalam Majmu‘ Fatawa (10/49): “Mengikhlaskan agama
untuk Allah I adalah pokok ajaran agama ini yang Allah I
tidak menerima selainnya.
Dengan ajaran agama inilah Allah I mengutus rasul yang pertama sampai rasul yang terakhir, yang karenanya Allah I menurunkan seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh para imam ahlul iman[www.asysyariah.com/iman.html]. Dan ia merupakan inti dakwah para
nabi dan poros Al-Qur’an.”
Yang perlu diingat bahwasanya niat itu tempatnya di hati
sehingga tidak boleh dilafadzkan dengan lisan. Bahkan termasuk perbuatan bid’ah bila niat itu dilafadzkan.

Pelajaran yang Dipetik dari
Hadits Ini
1. Niat itu termasuk bagian dari iman[www.asysyariah.com/iman-2.html] karena niat termasuk amalan hati.
2. Wajib bagi seorang muslim
mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan
itu bisa tertolak apabila luput
darinya niatan yang
disyariatkan.
3. Disyaratkannya niat dalam
amalan-amalan ketaatan dan
harus dita‘yin (ditentukan)
yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat yang akan ia kerjakan, apakah shalat
sunnah atau shalat wajib,
dhuhur, atau ashar, dst. Bila
ingin puasa maka ia harus
menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.
4. Amal tergantung dari niat,
meliputi sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
5. Seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Namun perlu diingat, niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu
menjadi ma’ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid’ah menjadi sunnah.
6. Wajibnya berhati-hati dari
riya`, sum‘ah (beramal karena ingin didengar orang lain), dan tujuan dunia lainnya, karena perkara tersebut merusakkan ibadah kepada Allah I.
7. Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang besar dan merupakan ibadah bila diniatkan
karena Allah I dan Rasul-Nya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.

sumber : http://asysyariah.com/arti-sebuah-niat.html?wpmp_switcher=desktop

artikel terkait www.asysyariah.com/hukum-melafadzkan-niat.html

artikel yang sama pada halaman /grup : قبل.Silahkan.Saling.Ber.
= > A Fiqih Hadits

No comments:

Post a Comment